Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 di mna pada saat itu juga masih ada kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Hebatnya, para penguasa kerajaan-kerajaan tersebut lebih memilih untuk meleburkan kerajaan mereka ke dalam negara Republik Indonesia. Hal ini bisa terjadi tak lain karena dalam diri para raja dan rakyat di daerah mereka telah tertanam dengan begitu kuat rasa kebangsaan Indonesia. Mereka lebih memilih bergabung dengan Republik Indonesia daripada bergabung dengan Belanda atau berdiri sendiri. Sikap nasionalisme para raja pada waktu itu patut kita hargai dan kita teladani.
Meski demikian tak semua raja yang ada pada waktu itu mau bergabung dengan negara kesatuan RI. Salah satu contohnya adalah Sultan Hamid II dari Pontianak. Sultan Hamid II adalah seorang menteri di Kabinet Indonesia Serikat (RIS). Dia berjasa menciptakan lambang Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara Indonesia. Namun pada tahun 1950-an lebih memilih berontak hingga turut serta dalam rencana jahat terhadap beberapa tokoh dan pejabat di Jakarta, meski akhirnya mengalami kegagalan. Berikut contoh dua orang raja yang memilih untuk melawan Belanda dan bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta dan Sultan Syarif Kasim II dari kerajaan Siak.
1. Sultan Hamengkubuwono IX (1912-1988) | ||
---|---|---|
Biografi | Gusti Raden Mas Dorodjatun atau Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah Pahlawan Nasional dan seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988). Beliau juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Beliau dilahirkan di Yogyakarta 12 April 1912 dan Wafat Amerikadi Serikat, 3 Oktober 1988serta dimakamkan di Imogiri, Yogyakarta. Beliau menempuh pendidikan di Pendidikan :Eerste Europese Lagere School, Yogyakarta, Neutrale Europese Lagere School.Yogyakarta, Hogere Burger School, Bandung, Hogere Burger School, Semarang, Gimnasium, Haar, Negeri Belanda, dan Fakulteit Indologi pada Rijksuniversiteit (Sampai tingkat doktoral) Leiden, Negeri Belanda | |
Peran |
|
Nilai kepahlawanan yang ditunjukan oleh Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX begitu terasa di masyarakat. Bahkan sebagai seorang pewaris tahta kerajaan (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat), beliau tidak bersikap sombong dan mau bergaul dengan rakyat jelata. Perjuangannya tidak hanya berhenti pada masa awal kemerdekaan, namun berlanjut sampai mengisi kemerdekaan itu sendiri, bahkan sampai akhir hayat hidupnya diabdikan untuk kepentingan bangsa dan negaranya (Indonesia). Inilah segi yang menarik dari pribadi Hamengku Buwono IX yang begitu merakyat, walaupun dia adalah seorang raja.
2. Sultan Syarif Kasim II (1893-1968) | ||
---|---|---|
Biografi | Sultan Syarif Kasim II lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Ia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Sultan Namanya kini diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru..Di bawah kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II, Siak menjadi ancaman bagi Pemerintah Hindia Belanda. Soalnya, dia secara terang-terangan menunjukkan penentangannya terhadap penjajahan. Dengan lantangnya, Syarif Kasim II menolak Sri Ratu Belanda sebagai pemimpin tertinggi para raja di kepulauan Nusantara, termasuk Siak. | |
Peran |
|
Sultan Syarif Kasim II dihormati orang karena kata dengan perbuatannya. Beliau tidak hanya mendukung NKRI dengan maklumat dan pernyataan politik saja, tetapi juga dengan menyumbangkan harta miliknya dalam jumlah sangat besar kepada negara. Dia tidak hanya menyayangi rakyatnya dengan kata dan ungkapan, tetapi juga dengan mencerdaskannya lewat penyediaan sekolah. Syarif mendukung perjuangan lewat seruan di istana, tapi juga hadir dalam kancah perjuangan dengan bantuan yang konkrit.